Pengangguran struktural merupakan salah satu ancaman terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Istilah ini merujuk pada kondisi ketika sejumlah besar tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, baik dari segi keterampilan maupun lokasi geografis. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang lambat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran struktural di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga kerja, sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman mereka.
Menurut Dr. Rizal Ramli, seorang ekonom senior, pengangguran struktural dapat memberikan dampak yang sangat negatif bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam sebuah wawancara dengan CNBC Indonesia, beliau mengungkapkan bahwa “pengangguran struktural dapat mengakibatkan ketidakstabilan sosial dan politik, serta menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.”
Ancaman pengangguran struktural ini juga diakui oleh para pejabat pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam sebuah konferensi pers mengatakan bahwa pemerintah sedang berupaya untuk mengatasi masalah ini melalui berbagai program pelatihan keterampilan dan peningkatan investasi di sektor-sektor yang membutuhkan tenaga kerja terampil.
Namun, tantangan untuk mengatasi pengangguran struktural tidaklah mudah. Diperlukan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan untuk menciptakan program yang dapat meningkatkan keterampilan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Sebagai negara berkembang yang memiliki potensi ekonomi yang besar, Indonesia perlu menangani masalah pengangguran struktural ini dengan serius. Dengan mengurangi kesenjangan keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan pasar kerja, diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat lebih berkembang dan berkelanjutan ke depannya.